BUKIT BATU, DELIK RIAU -Mempertahankan Seni dan Budaya
Melayu adalah salah satu cara menghormati para tokoh pendiri pendahulu, agar generasi muda tidak terkontaminasi oleh budaya asing yang sangat merugikan. Namun sayang beribu kali sayang, sampai hari ini seiring bergesernya waktu dan pergantian zaman tanpa disadari salah satu alat kesenian tradisional Melayu Nafiri mati suri khususnya di Kecamatan Bukit Batu, bahkan di Kabupaten Bengkalis.
Kata ini lebih baik kusematkan dari pada menahan sesak didada. Mungkin saja yang telah mati suri bisa hidup kembali, begitu pula yang hidup tak mungkin lupa diri.
Namun kenyataannya berbeda, yang telah mati suri terabaikan begitu saja sedangkan yang hidup serasa mati di pengaruhi budaya asing yang terus menerus menggerogoti para generasi muda.
"Darimana harus kumulai, sementara tabiat manusia terus menerus bernuansa lupa. Lupa akan jerih payah para tokoh pendahulu, seni dan budaya tak lagi di anggap penting terutama para kaula muda," ungkap Yanuar Hazid yang berumur 71 tahun sambil duduk dikursi dengan kaki yang gemetar dan bola matanya yang berbinar binar.
Seharusnya, berawal dari hujan gerimis kemarin bisa dijadikan cerminan, sehingga gerimis manja hari ini adalah menatap masa depan tanpa meninggalkan dan melupakan kesenian alat tradisional Melayu yang begitu penting dan bermakna.
"Jangan salahkan syairmu jika tepuk tepung tawar tak lagi seiring seirama. Itu disebabkan salah satu alat musik kesenian tradisional melayu pengiringnya sudah mati suri," ujar Yanuar Hazid.
Sosok Yanuar Hazid adalah salah seorang Budayawan yang sudah tidak muda lagi, Ia bisa dikatakan jantungnya melayu dengan banyaknya pengetahuannya tentang seni budaya melayu. Dengan usianya yang tidak bisa berbuat banyak, Ia mengakui bahwa kehilangan alat musik Nafiri tentu ada kesumbangan pada pengiring tepuk tepung tawar.
"Nafiri itu sebenarnya pengiring atau lawannya alat musik Gong saat dilaksanakannya acara tepuk tepung tawar. Nafiri juga melantunkan lagu, bilamana tidak ada Nafiri siapa yang tau bahwa kesumbangan itu terdengar jelas ditelinga," ucap Pak Yanuar dalam kondisi sakit pada usia lansianya.
Perubahan zaman itu tidak juga bisa dipungkiri, tetapi seni budaya melayu jangan dibiarkan memudar bahkan hilang. Terlebih alat tradisionalnya, diyakini penuh dengan makna baik tersirat maupun tersurat, Sontak Pak Yanuar Hazid sambil meneruskan perkataannya. Alat tradisional Nafiri dahulunya banyak digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat melayu. Terutama untuk memberitahukan tentang adanya bencana. Untuk itu, janganlah sampai generasi muda melupakan Nafiri ini.
"Salah satu bukti nyata, yang lebih berkesinambungan bahwa alat musik tradisional Nafiri itu penting dilestarikan. Orang yang pernah mendapatkan gelar kehormatan Adat di Riau adalah sultan Hamengku Buwono X, Ketika penobatannya berlangsung suara Nafiri bersama dengan Alat musik tradisional lainnya mengiringi acara tersebut di depan sidang Majelis Perapatan Adat Melayu. Alat-alat tersebut digunakan sebagai penanda diangkatnya seseorang sebagai bangsawan. Bukankah alat Nafiri ini penting untuk dikembangkan?, lalu kenapa dibiarkan seperti mati suri?, jawabannya, dikarenakan generasi muda sudah terhipnotis oleh budaya asing serta mengikatkan diri. Namun tetapi tidak ada kata terlambat untuk melestarikannya," tutur Pak Yanuar Hazid sambil menggelengkan kepala.
Meskipun tubuhnya tidak lagi kuat untuk duduk dikursi, sosok Pak tua Yanuar Hazid tetap berusaha bertahan untuk duduk serta menjelaskan dasar pengetahuannya tentang alat musik Nafiri ini. Ia tak ingin alat musik Nafiri ini terus menerus mati suri, sehingga dengan kemajuan zaman akan menghilangkannya tanpa jejak.
Menurut Yanuar Hazid, cara memainkan alat musik Nafiri memang sedikit susah dan butuh keyakinan yang kuat. Bentuknya juga menyerupai terompet. Besar kemungkinan itulah sebabnya para generasi muda tidak tertarik untuk berlatih mewarisinya. Bahkan, tidak ada satupun guru yang melatih alat kesenian Nafiri ini di Kecamatan Bukit Batu.
"Nafiri sebelum ditiup terlebih dulu alat musik ini perlu dipusung yaitu diasapi di atas pedupaan. Nafiri ditiup dengan aliran udara yang tidak terputus selama dua atau tiga jam. Pemain Nafiri harus orang yang memiliki napas panjang, sehat badannya, dan memiliki teknik khusus sehingga tidak putus tiupannya. Nafiri ditiup hanya dengan tangan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang bagian bawahnya. Meskipun sulit, tidak ada yang tidak bisa, dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan, semuanya tergantung pada niatnya.
Pada zaman dahulunya, alat Nafiri ini juga digunakan untuk mengumpulkan masyarakat, agar mereka segera datang ke alun-alun istana untuk mendengarkan berita atau pengumuman dari masyarakat mereka. Oleh karena itu, alat ini dijadikan sebagai barang pusaka kerajaan.
Berbicara alat musik kesenian melayu Nafiri bukanlah fatamorgana maupun fiktif belaka, panorama ini terlihat jelas oleh mata bahwa mati surinya Nafiri kesenian budaya melayu ini sudah hampir terwujud dikalangan masyarakat luas terkhusus Kecamatan Bukit Batu, terutama para generasi muda yang lebih suka memainkan alat musik diluar alat musik tradisional, dan mereka bahkan lebih mengikatkan diri dengan budaya asing.
"Saya sudah tua, sebagai pelaku budayawan di Sungai Pakning saya berharap ada upaya lebih yang dilakukan oleh pihak LAMR Bukit Batu dalam mengokohkan kembali pilar-pilar budaya Melayu sejak dini," beber Yanuar Hazid.
Nilai Budaya Melayu sangatlah penting diperhatikan, guna meningkatkan harkat dan martabat bangsa, untuk itu perlu kesadaran bersama untuk mempertahankan dan melestarikannya serta mewarisi budaya lokal dengan sebaik baiknya.
Bicara tentang generasi tidak terlepas dari Pemimpin dan orangtua. Sama halnya ketika bicara pelajar tentu membicarakan guru dan sekolahnya, harusnya nilai-nilai budaya Melayu sudah mulai dikenali sejak usia dini. Kalaupun tidak menjadi budayawan setidaknya mereka mengerti makna dan peruntukan dari nilai budaya itu sendiri.
"Saya pernah mendengar generasi muda beranggapan bahwa tepuk tepung tawar itu adalah sajian makanan. Inikan benar benar kacau, tepuk tepung tawar itu seperangkat adat dalam ritual budaya Melayu, kenapa pula ada sampiran sungguh sedap si tepung tawa," ujarnya dengan matanya mulai sayu dengan kondisinya yang tidak sehat.
Apabila pemikiran para generasi muda, tidak dipulihkan kembali untuk mencintai budaya tradisionalnya serta untuk bersikap cerdas dalam menghadapi persoalan-persoalan heterogenitas budaya, cepat atau lambat pasti kebudayaan kita akan jauh lebih terkikis. Penolakan terhadap globalisasi bukanlah pilihan yang tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka strategi-strategi dalam melestarikan dan mempertahankan budaya Melayu merupakan langkah utama untuk mengembalikan kejayaaan budaya Melayu di hati masyarakat khususnya dibumi Lancang Kuning.
Terakhir, sebelum melakukan istirahatnya Yanuar Hazid berpesan, jagalah alat musik tradisional kesenian melayu serta lestarikan sebaik baiknya. Karena nilai seni dan budaya jauh lebih terhormat dari pada mengikuti budaya asing yang tidak disertai tata krama adat dan sopan santun.
"Harapan saya salah satu budayawan yang masih bernafas di Sungai Pakning ini, hidupkanlah kembali alat musik Nafiri. Selain itu, alat musik kesenian Melayu Burdah juga yang semakin memudar tolong di kembangkan," ungkapnya sambil memejamkan mata dan merebah diri untuk berbaring beristirahat.
Laporan : (Andhika Sungai Pakning)