PEKANBARU, DELIKRIAU - Desa Sekijang kecamatan Tapung Hilir kabupaten Kampar tak hanya sekedar tempat dilangsungkannya acara Silahturahmi Masyarakat Sungai Tapung (SMST) yang ketiga, melainkan juga sekaligus menjadi tempat dikukuhkannya Lembaga Adat Kenegrian Tapung (LAKTA) pada Sabtu, tanggal 19 Januari 2019 lalu.
Namun jauh sebelum itu desa Sekijang ini juga sempat menjadi perbincangan hangat di Keluarga Besar Sungai Tapung (KBST) lantaran adanya fitnahan yang ditulis dibuku Mata Pelajaran Budaya Melayu Riau (Mapel BMR) terbitan Inprasa tentang sejarah desa Sekijang sebagai tempat persembunyian orang kawin lari.
Setelah dilakukan koordinasi dan mediasi beberapa kali di kantor LAM Riau pada beberapa bulan lalu permasalahan ini seperti sepi dan tak ada kelanjutannya lagi.
Saat delikriau.com mengkonfirmasi terkait permasalahan tersebut kepada Kepala desa Sekijang, H.Ahmad Taridi mengatakan sejauh ini buku yang mengandung fitnahan itu mungkin sudah ditarik oleh penerbit dari peredaran, namun permintaan maaf secara tertulis dari penerbit belum juga mereka dapatkan.
"Buku itu mungkin sudah ditarik oleh penerbit dari peredaran, soalnya kami sudah tidak menemukan buku itu lagi dibeberapa toko yang kami tanyai, namun sampai saat ini setau saya belum ada permintaan maaf secara tertulis dari pihak penerbit terkait masalah itu," jelas Taridi saat dikonfirmasi via pesan WhatsApp, Kamis (14/02/2019).
Taridi juga mengatakan bahwa sampai saat ini memang belum ada langkah untuk melanjutkan permasalahan tersebut, meskipun para Ninik Mamak desa Sekijang masih mengharapkan adanya permintaan maaf dari penerbit.
"Sampai saat ini memang belum ada dibuat langkah baru, namun Ninik Mamak berharap ada permintaan maaf dari pihak penerbit," jelasnya.
Ia juga menambahkan, jika ada waktu luang nanti akan melanjutkan permasalahan tersebut, dan jika kembali didapati bukti buku Mapel BMR tersebut masih dipergunakan di sekolah-sekolah, maka akan dilaporkan kepihak yang berwajib.
"Kalau ada waktu yang agak lapang nanti akan diurus lagi, dan nanti kami akan cek lagi di sekolah-sekolah, dan kalau terbukti masih dipakai di sekolah-sekolah, rencananya kami akan melaporkan pihak penerbit dan penulis kepihak yang berwajib," tambahnya.
Dan hingga berita ini diturunkan, LAKTA sebagai Lembaga Adat Tapung yang baru dikukuhkan di desa Sekijang itu sendiri sampai saat ini belum memberikan tanggapan apapun terkait permasalahan tersebut, meskipun Ketua Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAKTA, H.Sarkawi sudah dihubungi melalui pesan WhatsApp.
Demikian juga halnya dengan Zulfahmi, Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) yang mengomandoi LAKTA, hingga sampai saat ini belum memberikan jawaban langkah atau tindakan apa yang akan dilakukan LAKTA terkait permasalahan tersebut. (Raf)